Dear F: Cinta & Ikhlas (Part 3)

Website Resmi HMJ KPI

Format :

Bimbang

 

Fajar menyingsing di ufuk timur, gemercik hujan mulai turun membasahi bumi. Semangat yang semula menggebu-gebu perlahan menjadi hilang, sebab dinginnya pagi disertai hujan membuatku tak ingin beranjak dari tempat tidur. Astagfirullah, namun aku teringat jika hari ini adalah hari dimana aku harus berkutat dengan banyak jadwal pekerjaan, sehingga aku harus melawan rasa malas dalam diriku.

 

“Tok… tok… tok…”

 

Saat aku membereskan kamar, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu rumahku. Siapa ya yang bertamu di pagi hari buta seperti ini?

 

“Achaaaa… Achaaaa…”

 

“Hmm sepertinya ini suara Zahro,” gumamku dalam hati.

 

“Iya sebentar,” teriakku dari dalam kamar seraya melangkah menuju pintu rumah yang jaraknya tidak cukup jauh dari kamarku.

 

Saat aku membuka pintu, Zahro sontak memelukku sambil menangis tersedu-sedu. “Zahro, kamu kenapa?” tanyaku penuh heran.

 

Zahro hanya diam dan terus menerus bercucuran air mata, lantas aku pun membawanya duduk di sofa seraya menenangkannya.

“Kalau ada masalah, yuk cerita, jangan dipendam sambil nangis,” ujarku.

 

“Acha…” ucap Zahro lirih.

 

“Acha, kamu tahu kan impian aku?” sambung Zahro dengan suara yang berat.

 

“Eum impian yang ingin masuk ke perusahaan itu?”

 

“Iya, Acha. Aku ingin sekali bekerja di perusahaan luar negeri yang ada di Jerman dan sekarang adalah yang ke sekian kalinya aku ditolak di sana,” ucap Zahro sambil terisak.

 

Walaupun Zahro sudah menjadi seorang penyanyi gambus, namun ia masih tetap berjuang untuk menggapai cita-cita yang diimpikannya sejak dulu.

 

Setiap memiliki masalah atau keluhan apa pun, Zahro memang selalu mendatangiku untuk mencurahkan isi hatinya. Bahkan jika sudah tidak bisa menahan apa yang dirasakan, ia tak segan-segan untuk mendatangiku kapan pun dan di mana pun aku berada.

 

“Zahro, ingatlah bahwa ada rencana indah dari-Nya telah disiapkan untukmu. Kamu  percaya kan bahwa akan ada pelangi setelah hujan? Jangan sampai kamu dilema dengan segala kesedihan, takdir Allah tidak pernah ada yang salah, semuanya baik. Sekarang hapus air matanya ya cantik, kamu harus bangkit dan jangan sampai putus asa.”

 

“Tapi, Cha, ini bukan yang pertama atau kedua kalinya, ini sudah yang ke sekian kalinya bahkan banyak hingga berkali-kali, kenapa sih aku terus seperti ini?”

 

“Ssttt jangan bilang gitu ah, Zahro harus tetap berhusnudzon sama Allah ya, segala bentuk perjuangan yang sedang kamu lakukan pasti akan berbuah manis di suatu hari. Jika apa yang kamu inginkan tidak terkabulkan sekarang, Allah akan mengabulkannya nanti atau hal itu akan dikabulkan dalam bentuk lain yang tentunya lebih baik dari apa yang kamu inginkan, pokoknya serahkan semua pada-Nya.”

 

Zahro terdiam lalu ia merenungkan nasehat yang diberikan olehku. Perlahan ia mulai menghentikan tangisannya. Aku terus menerus berusaha membuatnya tenang dan meyakinkannya agar tetap berjuang menggapai mimpinya itu. Hingga akhirnya Zahro sedikit demi sedikit sadar dan bertekad untuk terus bersemangat meraih hal yang dicita-citakannya.

 

“Terima kasih ya Acha, kamu memang sahabat terbaik yang aku kenal,” ujar Zahro sambil memelukku.

 

“Iya Zahro sama-sama. Sudah ya jangan nangis lagi.”

 

“Eh iya nanti siang temani aku ke butik ya,” lanjutku.

 

“Lah? Tumben minta ditemani, hmm pasti si Firza mau main kan ke butik kamu?”

 

“Iya Zahro, tapi dia ke butik bareng ustadz di pondoknya yang dulu, mau pesan baju untuk acara pondok katanya.”

 

“Ohh, dikira si Firza bawa ustadz mau lamar kamu, Cha.”

 

“Hiss ngaco ah, udah yuk sarapan dari tadi ngobrol gak kelar-kelar,” ucapku sambil beranjak dari sofa.

 

“Haha iya deh hayuk bu negara,” ujar Zahro sambil mengikuti langkahku menuju meja makan.

 

***

Brukkk,” aku menyimpan sebuah plastik besar yang berisi bahan baju ke atas meja.

 

Plastik itu sangat berat, aku membawanya seorang diri sebab para karyawan butik sedang makan siang, aku yang baru saja datang tak tega jika mengganggu waktu istirahat mereka karena mereka telah bekerja dengan letih dari pagi hari. Begitu pun dengan Zahro, dia yang awalnya akan menemaniku ke butik, mendadak ada panggilan untuk manggung di acara pernikahan temannya sehingga aku pergi ke butik seorang diri.

 

“Duh, Mbak Acha kenapa angkat plastik itu sendirian?” ucap salah satu karyawan yang melintas di hadapanku.

 

“Enggak apa-apa kok, lagi pula sekalian olahraga,” ujarku seraya tersenyum.

 

“Ya kan Mbak Acha ini pemilik butik loh masa angkat-angkat yang begituan, jadi gak enak loh saya liatnya, duh maaf ya Mbak.”

 

“Ah santai saja kok, enggak apa-apa.”

 

“Ya sudah, lanjutkan istirahatnya ya,” sambungku.

 

“Siap Mbak,” sahut karyawanku yang ditangannya terdapat plastik berisi makanan.

 

Tak lama kemudian, 3 orang pria berpakaian muslim dan berpeci melangkah memasuki butik, mereka berjalan ke arahku, lalu menyunggingkan senyuman padaku. Lalu, salah satu dari mereka mengucap salam padaku sambil menelungkupkan tangan.

 

“Acha, perkenalkan ini kedua ustadzku semasa di pondok pesantren, ini namanya Ustadz Abdul dan yang ini namanya Ustadz Shaleh,” ucap Firza.

 

“Oh iya, salam kenal, saya Acha.”

 

“Baik ustadz, silakan duduk,” sambungku.

 

“Aku gak disuruh duduk nih?”

 

“Eh iya maksudnya sama Firza juga,” ucapku, lalu Firza tersenyum dan duduk di samping kedua ustadz itu.

 

Aku beserta mereka mulai berbincang mengenai pesanan yang sebelumnya telah dibicarakan Firza padaku. Di sofa berukuran sedang yang berwarna hijau, kami membicarakan banyak hal seperti tentang biaya, bahan baju yang akan digunakan, dan lainnya hingga akhirnya perbincangan kami membuahkan kesepakatan.

 

“Untuk tahu lebih jelas model atau potongan bajunya seperti apa, mari kita lihat ke sana,” ujarku sambil menunjuk ke arah pakaian muslim.

 

Kami pun beranjak ke tempat itu, karyawanku mengarahkan Ustadz Abdul dan Ustadz Shaleh untuk melihat potongan-potongan pakaian muslim yang sesuai dengan keinginan mereka.

 

“Eh Firza, nanti bantu aku ya untuk bilang perihal ini ke ustadz kamu,” ucapku sambil menghentikan langkah Firza di hadapan para karyawan.

 

“Bilang apa?” ujar Firza sembari menoleh ke arahku dengan raut wajah yang penuh rasa penasaran.

 

“Aku ingin membuat karya baru, namun kali ini aku ingin mengangkat tema tentang kehidupan pesantren, jadi aku ingin bertanya banyak hal tentang pesantren.”

 

“Ohh gitu, bagus deh. Cuma sepertinya bertanya saja tidak cukup, Cha.”

 

“Eum maksudnya?”

 

“Hm kalau kamu ingin benar-benar tahu tentang kehidupan pesantren untuk keperluan karya, alangkah baiknya kamu berperan sebagai tokoh juga di dalamnya.”

 

“Maksudmu aku harus tinggal di pesantren juga gitu?”

 

“Nah pintar, betul sekali.”

 

“Tapi kan…”

 

“Firza!”

 

Belum juga selesai bicara, tiba-tiba Ustadz Abdul memanggil Firza.

 

“Iya ustadz?”

 

“Sini sebentar.”

 

Firza pun menghampiri Ustadz Abdul dan tampaknya mereka berdiskusi untuk memutuskan model pakaian yang akan dibuatkan. Untuk mengurus perihal model pakaian, sudah ada karyawan yang bekerja di bagian itu sehingga aku hanya diam memantau saja.

 

Selang beberapa menit, mereka menghampiriku dengan langkah yang cukup tergesa-gesa.

 

“Mbak Acha, terima kasih banyak ya,” ucap Ustadz Shaleh.

 

“Eh iya sama-sama ustadz, sudah beres semua atau ada yang perlu Acha bantu lagi?”

 

“Cukup Mbak Acha.”

 

“Oh iya, kalau begitu nanti tim dari butik akan ke pondok pesantren untuk mengukur baju para santri, insyaallah secepatnya kami ke sana.”

 

“Iya Mbak, tapi sepertinya itu nanti saja ya, soalnya selama 3 hari ke depan anak-anak mau berangkat ziarah, kebetulan berangkatnya pun hari ini makanya sekarang kami sekalian ingin pamit, saya dan Ustadz Abdul sudah ditunggu di pesantren.”

 

“Hmm padahal aku tadinya ingin berbincang banyak perihal pesantren,” gumamku dalam hati.

 

“Kami pamit ya Mbak Acha, assalamu’alaikum,” pungkas Ustadz Shaleh.

 

“Wa’alaikumsalam, hati-hati di jalan ustadz,” ujarku seraya membalas senyuman mereka.

 

“Cha, aku mau antar ustadz dulu ya, nanti malam kita lanjut cerita sekalian bareng Zahro lewat panggilan video, oke?”

 

“Oke,” ucapku sambil mengacungkan jempol, lalu Firza melangkah meninggalkan butik.

 

Huft. Aku menghela nafas sembari duduk bersandar di sofa. Kini, pikiranku selalu teringat dengan ucapan Firza yang menyarankanku untuk tinggal di pesantren. Itu memang saran yang sangat baik. Namun, jika aku berada di pesantren, maka siapa yang akan memegang butik? Lalu, bagaimana pula dengan bunda? Aku tak tega jika bunda harus mengurus kedua adikku sendirian, apalagi kedua adikku masih kecil. Akan tetapi, di sisi lain aku juga ingin mewujudkan karya tersebut, apalagi tinggal di pesantren adalah keinginanku sejak lama. Ya Rabb, lantas harus bagaimanakah aku?

 

 

Icha Annisa

 

 

4 6 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

17 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
nissa
nissa
2 years ago

JADI ZAHRO TUH GAMUDAH LA YAAMPUNNN SABAR YA ZAHRO PASTI MENEMUKAN YG TERBAIK<3

Cecan
Cecan
2 years ago
Reply to  nissa

So a6

nissa
nissa
2 years ago
Reply to  Cecan

lo diem

nissa
nissa
2 years ago

plot twis, f yg dimaksud adalah FIRZA AKSKSKSKAKAK

kepo
kepo
2 years ago

ditunggu part 4nya ADMIN

y gt dh
y gt dh
2 years ago

Ingin anggun seperti Acha

meow meow
meow meow
2 years ago

Zahro kamu nangisnya keluar ingus nhha

bismillah cumlaude
bismillah cumlaude
2 years ago

Firza kamu pasti suka kan sama Acha???? ngaku gkkk

Admin Jelek
Admin Jelek
2 years ago

Ceritanya menarik untuk dinikmati pada malam minggu kali ini.
Ditunggu part selanjutnyaa

Icha Annisa
Icha Annisa
2 years ago
Ariesbukan_
Ariesbukan_
2 years ago

Jika apa yang kamu inginkan tidak terkabulkan sekarang, Allah akan mengabulkannya nanti atau hal itu akan dikabulkan dalam bentuk lain yang tentunya lebih baik dari apa yang kamu inginkan.

Pesan moral sekali. Mantap mantap dah

INFORMASI TERKAIT

Serupa, namun tak sama, silahkan dibaca atau di unduh

news-photo-1

Surat untuk kekasihku 2

Surat untuk kekasihku 2 Oleh : Arief Fahrudin. W   Bidadari yang…

June 19, 2022

news-photo-1

Cinta Sesaat

Cinta Sesaat Oleh : Icha Annisa Aprilia (Divisi Jurnalistik)   Dalam keheningan…

June 5, 2022

news-photo-1

Surat Untuk Kekasihku

Surat Untuk Kekasihku Oleh : Arief Fahrudin. W   Romansah yang kucinta……

June 5, 2022